insan kariya
Selasa, 19 April 2016
eksistensi pers dalam perspektif kekinian
“EKSISTENSI
PERS DALAM PERSPEKTIF KEKINIAN”
Dewasa ini eksistensi pers dan dalam
memberikan kontribusi kepada publik semakin dirasakan pengaruhnya.
Keberadaannya sebagai penyedia dan pemberi informasi menjadi amat penting dalam
mempresur dan menjajikan segala jenis informasi dan berita yang berkaitan
dengan sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan serta agama. Peran serta
pers dan media sebagai jembatan informasi tidak hanya menyajikan dan memberikan
informasi saja, melainkan ada sebagai wadah yang senantiasa berkomitmen dalam
membangkitkan optimisme publik. Hal ini dapat diketahui dalam etika pers dan
undang-undang pers yang menjunjung tinggi sikap jujur dan mengedepankan
kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. Kendati banyak
problem yang muncul dihadapi oleh pers tidak menjadikan pers dan media hilang
di atas permukaan.
Kendati ada oknum-oknum pers yang
menyalahgunakan kapasitasnya sebagai anggota pers yang memiringkan berita demi
keuntungan pihak-pihak tertentu, untuk mendapatkan iming-iming tertentu demi
memenuhi kebutuhan dan hasrat sesaatnya dengan segala jenis alasan apapun, dalam
hal ini salah satu contoh adalah kepentingan birokrat tetapi tidak harus
mengorbankan masyarakat. Oleh karena itu, ketua Dewan Pers Bagir Manan, pernah mengkritisi sikap pemerintah daerah yang sengaja memberikan fasilitas
tertentu bagi wartawan seperti ini. Harapannya, kata Bagir Manan, para wartawan
bisa membuat berita baik-baik dan menyenangkan hati para birokrat meskipun
kepentingan publik dikorbankan (Jawapos, 15 Desember 2012 dalam http/wartawan
professional).
Oleh karena demikian profesionalisme wartawan atau pers
sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat, mejadi jembatan
informasi dan menjadi alat publik untuk berekspresi,mengawal, mengkritisi
berbagai macam kesalahan dan ketidakadilan yang ada, khususnya dalam konteks
Indonesia dewasa ini.
Ada banyak pengertian tentang
profesionalisme wartawan. Namun sebelum beranjak lebih jauh tentang apa itu
profesionalisme wartawan maka ada baiknya jika kita menelaah terlebih dahulu
apa itu profesionalitas. Profesionalitas atau profesionalisme merupakan
perkembangan dari kata profesi. Profesi ini tentu berbeda dengan hanya sekedar
pekerjaan. Sahala dalam tulisannya Wartawan, Pekerja atau Profesi Yang dimuat
di situs Perhimpuan Jurnalis Indonesia Jawa Barat menyebutkan ada banyak
ilmuwan yang memiliki versi tersendiri tentang karakteristik profesi.
Terence J. Johnson menyebutkan bahwa profesi
memiliki enam kriteria, yaitu keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan
teoretis, penyediaan pelatihan dan pendidikan, pengujian kemampuan anggota,
organisasi, kepatuhan kepada suatu aturan main. Adapun B. Barber menyatakan
bahwa profesi memiliki empat ciri, yakni pengetahuan umum yang tinggi, lebih
berorientasi kepada kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, adanya
pengawasan ketat atas perilaku pribadi melalui kode etik yang dihayati dalam
proses sosialisasi pekerjaan, serta melalui asosiasi-asosiasi sukarela yang
diorganisasikan dan dijalankan oleh para pekerja spesialis itu sendiri, dan
sistem balas jasa (berupa uang dan kehormatan) yang merupakan lambang prestasi
kerja, sehingga menjadi tujuan, bukan alat untuk mencapai tujuan kepentingan
pribadi. (http/ wartawan professional).
Ada
beberapa pengertian wartawan profesional. Menurut Budiman S Hartoyo wartawan
yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill
(ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau
feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar
Wartawan professional adalah wartawan yang setia melaksanakan
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Dalam UU Pers
dijabarkan bahwa pers berfungsi edukasi, hiburan, dan kontrol sosial (Pasal 3
ayat 1). Ditegaskan pula dalam Pasal 6 bahwa pers nasional berperan melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
Dalam menjaga obyektivitas dan independensi dalam
melaksanakan pengawasan tersebut, Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik ditegaskan
bahwa: wartawan
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Jadi,
wartawan sejatinya menolak pemberian amplop dari narasumber bukan menerima lalu membuat-buat berita
sesuai pesan dan rekomendasi pihak serta kelompok tertentu.
Tidak
heran, untuk mengangkat harkat dan martabat jurnalis dan
melindungi publik, Dewan Pers kemudian mengeluarkan Peraturan Dewan Pers
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) menyebutnya standar kompetensi jurnalis. Standar itu
sepertinya memang diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan
mengembalikan kehormatan profesi jurnalis. Tetapi, bukan untuk mengebiri hak
asasi warga negara untuk menekuni profesi wartawan.
Seperti yang pernah dilansir oleh AJI Indonesia dan AJI
Malang di Malang pada 26-27 Januari 2013 dalam uji komptensi jurnali bahwasannya uji kompetensi dirasa
cukup penting karena paling
tidak untuk terus mengasah dan menguji kemampuan dan kesadaran jurnalisme. Dalam uji kompetensi ini,
jurnalis diuji kesadaran tentang etika, hukum dan kepekaan jurnalismenya.
Masing-masing tingkatan kompetensi yaitu utama, madya, dan muda berbeda materi
pengujiannya. Tetapi secara umum diuji pengetahuan teori dan prinsip
jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Selain itu, diuji
keterampilan mencakup kegiatan 6 m yakni mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Uji kompetensi yang
diselenggarakan AJI Indonesia titik tekannya 60% pada pemahaman teori dan
praktik jurnalistik dan 40% pada pemahaman kode etik jurnalistik (http/wartawan propesional).
Dalam
perpektif kekinian, ditengah era informasi dan globalisasi tak terbendung
dengan segudang masalah yang dihadapi oleh pers selaku penyedia dan jembatan
informasi, dibutuhkan komitmen yang didasari oleh etika dan aturan pers itu
sendiri sebagai landasan dalam rangka menyaikan segala bentuk pemberitaan agar
masyarakat dan publik dapat percaya atas segala jenis pemberitaan yang
diberitakan. Tentu cara itu tidak cukup untuk membangkitkan dan menumbuhkan
kepercayaan public dalam kontek kekinian. Dibutuhkan pendekatan, sosialisasi,
serta metode-metode lain yang dianggap relevan sehingga kepercayaan publik
dapat terwujud.
Disamping
hal di atas, hal urgen yang perlu
diperhatikan oleh pers dalam konteks dewasa ini adalah mempresur berita sesuai
dengan fakta dan tanpa dibumbuhi oleh embel-embel apalagi kepentingan individu
dan kelompok tertentu. Dengan begitu nama baik pers dijaga serta masyarakat
dengan mudah percaya dengan segala pemberitaan yang diberitakan. Oleh karena
itu, citra pers harus dijaga dalam bentuk yang seutuhnya.
cinta yang tak pernah padam
“Cinta Yang Tak Pernah Padam”
Oleh JURAIDIN (Jul Wawo)
Selasa, 01 januari 2016, Pukul
22.10 WITA
Arama Mahasiswa Bima Mataram
Kariya tentang
cinta menurut saya sudah berserakan dimana-mana. Ada yang berbentuk buku, ada
yang berbentuk file, ada yang berbentuk kaset, ada yang berbentuk film dan ada
yang berbentuk lain. Saking banyaknya tidak bisa saya sebutkan satu per satu dalam
coretan singkat ini. Penulis tau, kariya cinta yang pembaca pahami lebih banyak
dan akut ketimbang yang penulis tulis dan pahami. Walau demikian, dalam tulisan
singkat ini penulis tidak mempersoalkan kuantitas dan keakutan cinta yang
kebanyakan kita pahami. Sesungguhnya “cinta” yang penulis maksudkan disini
adalah cinta orang tua terhadap anaknya.
Kita semua
tahu bahwa kecintaan orang tua terhadap anaknya melebihi segala-galanya. Tidak
ada benda, makhluk atau apapun di dunia ini yang mengalahkan kekuatan cinta
orang tua terhdap anak-anaknya. Oleh karena itu, cinta kedua orang tua terhadap
anaknya melebihi segala yang ada. Seandainya bumi serta isinya kita bandingkan
dengan cinta kedua orang tua kepada anaknya, hal itu tidak akan sebanding. Hal
ini dikarenakan pengorbanan, tanggung jawab serta kasih sayangnya begitu besar
dan dalam yang diberikan orang tua kepada seorang anak.
Sebagai
seorang anak yang mencintai dan paham dengan cinta yang telah diberikan oleh
kedua orang tua, seorang anak tidak mungkin melakukan hal-hal yang menyakiti
atau membuat orang tuanya kecewa atau tersakiti. Hal ini akan menjadi dosa
besar bagi seorang anak. Membawa kehancuran dan memporak-porandakan kehidupan
seorang anak di dunia (alam fana’) bahkan di akhirat kelak (negeri abadi) kehidupan
yang selama-lamanya. Semua itu karena jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah
menerangkan dalam sabdanya. “Ridho Allah
sangat bergantung pada keridoan orang tua, sementara murka Allah sangat
bergantung pada murka kedua orang tua”.
Dalam
praktiknya, kecintaan orang tua terhadap anak-anaknya tidak akan pernah padam,
tidak akan pernah hilang, tidak akan pernah berkurang dan sirna walau dimakan
zaman. Ini semua karena adanya kedekatan hati, iktatan batin yang menjadikan
orang tua akan semakin cinta pada anak-anaknya. Kendati anakya berbuat salah,
kendati anaknya sering mengecewakannya, kendati anaknya banyak tingkah, itu
semua tidak akan mengurangi rasa cinta orang tua pada anaknya.
Semoga dalam
hidup ini kita sebagai anak dan nantinya akan menjadi orang tua selalu
mengedepankan cinta di atas segala-galanya. Cinta yang dibimbing oleh Sang Maha
pemilik cinta sejati. Sehingga pada saatnya nanti kita dipulangkanNya dalam
keadaan saling mencintai, menyayangi karena iman dan takwa kepada Allah SWT.
Amiin yaamujibassaa iliin… I love they
(mother and father).
Langganan:
Postingan (Atom)